background

Sejarah

Tidak Ada Bid’ah Hasanah

Nabil Charomaein 17 Sep 2024

Image

1. Apa itu Bid’ah?

Sebelum
memutuskan apakah maulid nabi bid’ah atau bukan tentunya kita harus
sepakat tentang arti bid’ah itu sendiri. Karena akan sulit menemui titik
temu jika kita mempunyai pandangan yang berbeda tentang arti bid’ah.

Arti
bid’ah menurut istilah syar’i adalah kesesatan yang harus dijauhi. Dan
harus diwanti-wanti untuk tidak sampai kesana. Tidak ada perbedaan
tentang ini. istilah bid’ah sendiri berasal dari hadist nabi yang
berbunyi :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (رواه البخاري ومسلم)

Artinya
: Barang siapa yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama)
kami ini, yang bukan (berasal/bersumber) darinya, maka dia tertolak.
(Riwayat Bukhori dan Muslim),

Disebutkan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim :

فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. (رواه
ومسلم)

Artinya
: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya
petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara
yang baru, dan kullu (setiap/sebagian besar) bid’ah (hal baru) adalah
sesat” (HR. Muslim)

Sebenarnya
apa makna kalimat bid’ah itu sendiri? Apakah benar makna bid’ah adalah
segala hal baru di kehidupan kita sebagai umat islam yang tidak pernah
dilakukan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para
sahabatnya?

Kita
semua tahu bahwasannya kehidupan manusia di dunia tidak akan monoton.
Akan selalu ada perubahan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Dengan
berubah-ubahnya kondisi manusia dan alam semesta di setiap generasi,
tidak mungkin menegakkan satu peraturan yang hanya satu dan kaku. Bahkan
tata cara kehidupan pun belum bisa dikatakan sudah terbentuk dengan
metode yang kuat di zaman nabi beserta para sahabatnya. Sebaliknya, nabi
dan para sahabatnya menerima segala perkembangan yang ada pada saat itu
dengan senang hati. Nabi juga dengan senang hati menerima bagaimana
dunia ini bekerja tanpa perlawanan ataupun pemberontakan pada kehidupan
itu sendiri. Berapa kali kita lihat kebiasaan baru yang pada akhirnya
malah dianjurkan oleh nabi. Beberapa perkara juga dibuat oleh sahabat
khususnya atau bangsa Arab pada umumnya yang akhirnya diperbolehkan oleh
nabi. Seperti shalat sunnah wudlu yang pernah dilakukan oleh sayyidina
Bilal Bin Rabah. Juga penghimpunan al-Qur’an dalam satu mushaf di jaman
Khalifah ar-Rasyidin yang dilakukan berjenjang sejak zaman kekhalifahan
Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman radhiallahu anhu. Praktik shalat tarawih
berjamaah terjadi pada masa Umar. Adzan shalat Jum’at dua kali ada di
jaman Ustman. Shalat hari raya di dua titik terjadi di zaman Ali ibn Abi
Thalib radhiallahu anhu. Tambahan lafazh pada talbiyah haji dari Ibnu
‘Umar. Dan masih banyak lagi contoh lainnya. Tentunya ini karena nabi
melihat bahwa apa yang dilakukan oleh mereka tidak menyalahi syari’at
Islamiyah. Ini selaras dengan kaedah ushuliyah yang berbunyi:

.الاصل في الاشياء الاباحة

“Hukum asal dari segala sesuatu adalah Ibahah (boleh)”.

Dari
sini ulama hanafiyyah dan ulama-ulama lainnya berpendapat bahwa ‘urf
atau kebiasaan -tentunya dengan batas-batas tertentu- bisa dijadikan
salah satu sumber dari sumber-sumber syari’at islam.

2. Bid’ah dan Agama

Apa
yang telah kita uraikan di atas adalah makna kalimat bid’ah secara
umum, yakni jika dilihat secara bahasa saja. Tapi ulama-ulama muslim dan
para ahli fiqih mendefinisikan kalimat ini dengan penafsiran yang luar
biasa. Kalimat bid’ah itu mempunyai makna istilah yang khusus.

Tentu
akan ada banyak sekali definisi yang akan kita temukan ketika kita
mencari tahu apa itu bid’ah dengan berbagai macam redaksi yang berbeda.
Akan tetapi semuanya akan bermuara pada makna istilah yang satu. Dalam
hal ini syaikh syahidul minbar Dr. Said Ramadhan Al-Buthi memilih dua
pengertian yang dijelaskan oleh imam Syathibi dalam kitabnya
Al-I’tishom. Beliau memilih pendapat dari imam Syathibi karena dua
alasan. Pertama, karena imam Syathibi termasuk pendahulu yang
menghabiskan waktunya untuk meneliti dan mengkaji ulang tentang hal ini.
Kedua, beliau juga termasuk dari ulama-ulama mutaqaddimiin yang sangat
memerangi bid’ah, dan sangat menganjurkan untuk menjauhi perkara ini.

Imam
Asy-Syathibi mendefinisikan bid’ah dengan dua definisi. Definisi yang
pertama : yaitu jalan (thariqah) dalam agama yang diciptakan menyamai
syari’ah, yang tujuannya – dengan jalan yang dibuat-buat itu – untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT. Ini pendapat kelompok
yang menganggap adat-istiadat tidak masuk dalam makna bid’ah karena
bid’ah hanya ada pada masalah ibadah (shalat, puasa, zakat, dll).

Definisi
yang kedua : Adapun kelompok yang memasukkan adat-istiadat ke dalam
makna bid’ah berpendapat bahwa bid’ah adalah jalan (thariqah) di dalam
agama yang diciptakan menyamai syari’at, yang tujuan pelaksanaannya sama
seperti tujuan pelaksanaan syari’at.

Imam
Syathibi mendefinisikan bid’ah dengan dua definisi ini karena sebagian
orang berpendapat bahwa bid’ah hanya ada dalam ibadah, sebagian lagi
menganggap bahwa bid’ah tidak hanya ada di dalam ibadah. Tapi semua hal
baru adalah bid’ah. Tetapi pada akhirnya Imam Syathibi lebih condong ke
pendapat yang nomor satu. Yakni segala sesuatu hal yang baru bisa
dikatakan bid’ah jika itu ruang lingkupnya ibadah. Entah itu ibadah
qalbiyah seperti aqidah, maupun sulukiyyah (ibadah-ibadah lainnya)

Menilik
pengertian di atas, jelas bahwa seseorang bisa dikatakan melakukan
bid’ah jika melakukan hal baru yang mana hal baru tersebut termasuk
bagian dari agama. Seperti menambah jumlah shalat wajib menjadi 6 waktu,
puasa wajib menjadi 2 bulan, dan ini jelas dilarang oleh syari’at kita
sendiri. Yang menentukan syari’at, hukum-hukum dalam islam adalah allah
subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang bisa atau bahkan berhak untuk
mengubah atau menambahkan sesuatu ke dalam agama.

Adapun
perilaku lainnya yang tidak berhubungan dengan agama yang berasal dari
manusia, itu semua bukanlah bid’ah dan jauh dari definisi bid’ah itu
sendiri. Walaupun hal tersebut termasuk hal yang baru dan tidak pernah
muncul di dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim. Akan tetapi kita
bisa sandarkan perilaku ini ke sunnah hasanah atau sunnah sayyi’ah.
Seperti apa yang dijelaskan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadistnya :

​مَنْ
سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ . (رواه ومسلم)

Artinya
: “Barangsiapa yang membuat sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan
memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat
sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang
yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR
Muslim).

Imam
Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan istilah “sanna sunnah hasanah”
sebagai memulai kebaikan (al-ibtida’ bil-khairat) sedangkan “sanna
sunnah sayyi’ah” sebagai memulai/membuat-buat berbagai kebatilan dan
keburukan (ikhtira’ al-abathil wal-mustaqbahat). Hal ini berarti kata
sunnah di situ bukanlah sunnah Rasulullah, tetapi hal baru secara umum
yang memang adakalanya baik dan adakalanya buruk.

hadits
tersebut juga memakai redaksi “man sanna sunnatan” dalam arti “siapa
pun yang membuat sunnah”. Sudah jelas kata sunnah di sini bukanlah dalam
makna sunnah Rasulullah sebab sunnah Rasulullah hanya dibuat oleh
Rasulullah saja, tak bisa dibuat oleh siapa pun. Sunnah yang bisa dibuat
oleh siapa saja adalah sunnah dalam arti bahasa, yakni segala hal baru
secara umum. Ini mencakup hal yang betul-betul baru pertama kali terjadi
seperti di dalam kasus pembunuhan oleh Qabil dalam hadits berikut:

لا
تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ
مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ القَتْل. (رواه
البخاري)

“Tidaklah
suatu jiwa dibunuh secara zalim kecuali putra Adam yang pertama (Qabil)
mendapat bagian dosanya sebab dialah yang pertama membuat sunnah
pembunuhan” (HR Bukhari).

Sunnah
berupa pembunuhan di masa Qabil adalah peristiwa yang tak pernah
terjadi sebelumnya. Qabil-lah manusia pertama yang melakukannya sehingga
ia dianggap membuat sunnah berupa pembunuhan. Pembunuhan adalah sebuah
sunnah sayyi’ah yang dosanya terus mengalir bagi qabil.

3. Bagaimana Mengidentifikasi Bid’ah?

Sepertinya
ini akan jadi pembahasan yang panjang jika kita berbicara tentang
bagaimana mengidentifikasi perkara bid’ah. Tapi kita akan coba untuk
meringkasnya sebagai berikut :

-
Seluruh perkara dan perilaku yang bersumber dari manusia, entah itu
baru yang belum pernah diketahui ataupun lama yang sudah menjadi
kebiasaan -yang tidak termasuk dari makna bid’ah yang sama-sama telah
kita pelajari sebelumnya- jika itu bertentangan dengan segala hukum yang
ada dalam syari’at islam, maka jelas tidak diperbolehkan.

-
Jika perilaku tersebut tidak bertentangan dengan syari’at islam tapi
tidak juga selaras dengan syari’at, maka harus ada peninjauan lebih
lanjut akan hukum yang akan dihasilkan. Yakni jika hal tersebut di akhir
akan bermuara pada salah satu dari maqasid as-syar’i (menjaga agama,
menjaga hidup, menjaga akal, menjaga keturunan, menjaga harta) maka bisa
dikatakan bahwa ini adalah sunnah hasanah. Dan setelah itu barulah akan
diputuskan apakah hal tersebut wajib, sunnah atau mubah. Sebaliknya pun
begitu, jika hal baru tersebut tidak mengandung kemashlahatan maka hal
tersebut termasuk dalam kategori sunnah sayyiah.

Jika
kita sudah bisa membedakan antara bid’ah, sunnah hasanah, dan sunnah
sayyiah. Maka kita akan tahu bahwasannya tidak ada yang namanya bid’ah
hasanah seperti apa yang sering kita dengar dimana-mana. Karena semua
bid’ah adalah kesesatan. Karena perilaku bid’ah yang didefinisikan
sebagai perubahan dan penambahan sesuatu dalam agama. Dan hal tersebut
tidak mungkin akan menjadi sesuatu hal yang diperbolehkan dalam keadaan
apapun. apa yang sering kita dengar bid’ah hasanah adalah sesuatu yang
disebutkan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
haditsnya sebagai nama sunnah hasanah.

Dan
contoh dari sunnah hasanah sendiri adalah seperti perayaan-perayaan
yang dilakukan oleh umat islam. Seperti awal tahun hijriyyah, maulid
nabi, peringatan isra’ mi’raj, dan sebagainya. Yang mana di dalamnya
penuh dengan kebaikan mutlak dan tidak ada sesuatu yang melanggar
syari’at islam.

4. Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Bukan Bid’ah

Perayaan-perayaan
yang dilakukan umat islam dalam memperingati maulid nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah perkara bid’ah. Karena kita
membuat perkara baru yang bukan termasuk dari asas atau pokok agama.
Perayaan maulid tidak lain tidak bukan adalah bentuk dari semangat
sosial yang dapat menumbuhkan kecintaan kita kepada nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. Juga berisi hal baik dan bermanfaat baik
dalam segi agama, maupun duniawi. Perayaan maulid juga bukan termasuk
sunnah sayyiah sebagaimana yang telah kita jelaskan tadi karena di
dalamnya tidak ada hal yang mengundang bahaya atau pun hal buruk
lainnya.

Jika
ada hal-hal buruk yang tercampur di dalamnya, maka yang harus kita
sorot adalah hal buruk yang mencemari kegiatan tersebut, bukan melarang
perayaan maulid. Banyak dari ibadah yang tidak dilakukan sebagaimana
mestinya karena ada hal-hal eksternal yang mencemari tujuan dari ibadah
tersebut. Apakah kita harus melarang ibadahnya karena hal eksternal yang
mencemarinya atau fokus memberantas perkara yang mencemarinya?

Setelah
semua ini, akhirnya kita bisa mememahami dimana letak kesalahan kita
semua dalam semua perdebatan yang ada di penjuru dunia tentang perayaan
maulid nabi. Kita telah salah dalam memahami arti bid’ah. Kita belum
bisa membedakan antara Bid’ah, Sunnah Hasanah, dan Sunnah Sayyiah.
Disaat di luar sana masih banyak kemunkaran yang tampak ke permukaan dan
merajalela, tapi kita malah sibuk memperdebatkan hal baik yang pada
dasarnya bisa mempersatukan umat.”

Wallahu a’lam bisshawab.